PERANG ACEH ( PERLAWANAN TERHADAP KOLONIAL )

Teuku Umar

A. Pendahuluan
            Pada awal abad 19, di Sumatra masih terdapat banyak kerajaan tradisional seperti Aceh, Palembang, Siak, Kampar, dan Jambi. Aceh merupakan salah satu kerajaan besar yang penting di Sumatera. pada waktu itu, Aceh mempunyai peranan penting karena terletak di ujung utara Sumatra yang merupakan jalur lalu lintas perdagangan laut dan satu-satunya kerajaan yang berdaulat penuh atas wilayahnya. Hal tersebut ditandai dengan adanya traktat London tahun 1824 yang ditandatangani oleh Inggris dan Belanda (Poesponegoro dan Notosusanto,1993:63-65).
            Aceh terletak di jalur lalulintas perdagangan laut yang sangat ramai. Hal tersebut memberi manfaat bagi kerajaan Aceh sendiri, antara lain bertambahnya pemasukan upeti dari para pedagang yang melintasi perairan yang dikuasai kerajaan Aceh. Dibukanya Terusan Suez juga membuat Aceh semakin ramai sebagai jalur lalulintas perdagangan dunia. Letak strategis Aceh tersebut tidak hanya memberi dampak positif tetapi juga memberi dampak negatif bagi Aceh. Banyak kerajaan-kerajaan dan kekuasaan diluar Aceh yang berusaha merebut Aceh, diantaranya adalah Belanda.
            Pada awal abad 19 pemerintah Hindia Belanda mulai melebarkan sayap kekuasaannya diluar pulau Jawa, termasuk wilayah Sumatra. Hal tersebut untuk melindungi wilayah jajahan Belanda supaya tidak direbut oleh Inggris yang pada saat itu menguasai Semenanjung Malaya. Pada tahun 1930-an Belanda berhasil menguasai daerah Sibolga dan Tapanuli yang maíz menjadi daerah kekuasaan Aceh.. Selain itu pada tanggal 1 februari 1858 sultan Siak diikat perjanjian oleh pemerintah Hindia Belanda. Menurut Wikipedia, bahwa akibat perjanjian yang ditandatangani oleh Sultan Ismail dengan pihak Hindia Belanda membuat daerah Deli, Langkat, Asahan dan Serdang jatuh kepada pihak Belanda. Padahal daerah-daerah tersebut sejak Sultan Iskandar Muda, berada  di bawah kekuasaan Aceh(http://id.wikipedia.org/wiki/Perang_Aceh).
            Dengan dikuasainya Siak oleh Belanda, menunjukkan bahwa Belanda sudah tidak konsisten dengan isi traktat London 1924. Hal tersebut benar-benar membuat Aceh marah dan tidak tinggal diam. Akhirnya Aceh pun menyusun rencana dalam menghadapi pihak Belanda, pemerintah Hindia Belanda juga mempersiapkan diri guna menyerang Aceh. Akhirnya pada tanggal 26 maret 1873 Belanda menyatakan perang kepada Aceh dan melakukan serangan di daratan Aceh.
B. latar belakang terjadinya perang Aceh
            Perang Aceh dilatar belakangi oleh beberapa sebab, diantaranya yaitu :
a)      Belanda meduduki daerah Siak
            Sultan Ismail dari Siak (1827-1867) merupakan penguasa yang tidak pernah berhasil menjadi penguasa di negerinya yang penuh gejolak. Setelah lepas dari kendali ayahnya pada tahun 1840, ia berhadapan berhadapan dengan pemberontakan yang dilancarkan oleh iparnya sendiri. Kemudian pemberontakan tersebut berhasil dipadamkan oleh Tengku Putra, yang sejak itu juga memerintah Siak sebagai Raja muda. Sultan Ismail berselisih dengan saudaranya sendiri yakni Tengku Putra untuk memperoleh kekuasaan di Siak. Sultan Ismail meminta bantuan dari pihak Belnda untuk mengalahkan saudaranya. Tetapi sebelum memberi bantuan kepada Sultan Ismail, Belanda lebih dahulu mengikat Ismail dengan sebuah perjanjian. Nieuwenhuyzen, Residen Riau dikirim ke Siak untuk mengatasi masalah Sultan Ismail dan Tengku Putra. Nieuwenhuyzen membuat perjanjian persahabatan dengan Sultan Ismail jika nantinya bantuan yang diberika Belanda berhasil mengalahkan musuh Sultan Ismail maka Siak harus tunduk dibawah kekuasaan pemerintah Hindia Belanda. Sultan Ismail menyetujui isi perjanjian yang diajukan oleh Residen Riau teresbut. Belanda pun mulai melancarkan serangannya terhadap Tengku Putra, akhirnya Tengku Putra pun melarikan diri dari Siak karena tidak mampu melawan serangan dari pihak Belanda (Reid,2005:26-29).
Sesudah Tengku Putra melarikan diri dari Siak, Sultan Ismail naik tahta menjadi pemimpin di Siak. Tetapi berdasarkan perjanjian yang sudah disepakati antara Sultan Ismail dan Pemerintah Hindia Belanda maka Siak harus tunduk kepada Pemerintah kolonial, padahal daerah Siak sejak pemerintahan Sultan Iskandar Muda berada dibawah kekuasaan Aceh. terjadinya perang Aceh. Karena hal tersebut bertentangan dengan hegemoni Aceh maka untuk mencegah penetrasi lebih lanjut banyak kapal perang Aceh yang dikerahkan di pantai timur Sumatera, tetapi akhirnya wilayah  Deli, Serdang, dan Asahan tetap jatuh ke tangan Belanda (Kartodirjo,1987:386). Hal tersebut juga menjadi salah satu faktor tejadinya perang Aceh.
b)      Dibukanya Terusa Suez oleh Ferdinand de Lesseps, menyebabkan perairan Aceh menjadi sangat penting untuk lalu lintas perdagangan.
            Dibukanya Terusan Suez pada awal abad 19 membuat Aceh mempunyai kedudukan strategis karena terletak dalam urat nadi perkapalan internasional. Belanda memandang situasi tersebut sangat gawat karena memasuki masa dimana imperialisme dan kapitalisme mulai memuncak dan negara-negara barat mulai berlomba mencari daerah jajahan baru (Kartodirjo,1987:386). Lalu lintas Selat Malaka juga semakin ramai sesudah dibukanya Terusan Suez dan Aceh merupakan pintu gerbang utama untuk menuju Selat Malaka (Poesponegoro dan Notosusanto,1993:242). Hal tersebut juga melatarbelakangi ekspansi Belanda terhadap Aceh.
c)      Ditandatanganinya perjanjian Sumatera antara Inggris dan Belanda pada 1871 yang melanggar isi Traktat London 1824.
            Kebijakan Inggris terhadap Aceh mengalami perubahan pada tahun 1860-an dan tidak lagi memberi kedaulatan penuh bagi Aceh. Ketika persaingan diantara keluatan-kekuatan Eropa untuk mendapatkan daerah jajahan meningkat, maka London memutuskan lebih baik Belanda yang menguasai Aceh dari pada negara yang lebih kuat seperti Perancis dan Amerika yang akan menguasainya. Hasilnya adalah ditandatanganinya perjanjian Sumatera pada 1871 yang memberikan kebebasan bagi Belanda untuk melakukan ekspansi diseluruh wilayah Sumatera termasuk Aceh atas persetujuan Inggris dan sebagai gantinya Belanda menyerahkan pantai emas Afrika kepada Inggris. Perjanjian tersebut juga mengumumkan bahwa Belanda ingin menguasai Aceh (Ricklefs,1991:219). Hal tersebut juga memicu terjadinya perlawanan dari Aceh pada pihak Belanda.
d)     Akibat perjanjian Sumatera, Aceh mengadakan hubungan diplomatik dengan Konsul Amerika, kerajaan Italia, kesultanan Usmaniah Singapura dan Turki Ustmani.
            Melihat negaranya yang terancam oleh penetrasi Belanda, Aceh mulai mengadakan hubungan dengan negara-negara lain seperti Amerika Serikat, Italia, Singapura, dan Dinasti Turki Ustmani untuk meminta bantuan. Pada bulan januari 1873 Sultan Aceh mengirimkan seorang utusan ke Turki untuk meminta bantuan apabila Belanda menyerang Aceh dengan kekerasan. Kemudian sebuah utusan yang dipimpin oleh Teuku Panglima Muhammad Tibang dikirim kepada Residen Hindia Belanda di Riau untuk menyampaikan pesan Sultan bahwa Belanda sebaiknya menangguhkan kunjungan untuk menghadap Sultan Aceh sampai Sultan mengadakan hubungan dengan Turki.
Utusan Aceh tersebut dalam perjalanan pulang diantar oleh kapal perang Murnix milik Hindia Belanda dan singgah di Singapura. Kesmpatan tersebut digunakan oleh utusan-utusan Aceh untuk menemui Konsul Italia, dan konsul Amerika Serikat yang pada saat itu berada di Singapura. Melalui konsulnya yang ada di Singapura, pemerintah Hindia Belanda mengetahui bahwa konsul-konsul Amerika dan Italia akan berusaha supaya pemerintahannya masing-masing bersedia membantu Aceh. Hal tersebut mbuat khawatir pihak Belanda, apalagi muncul desas-desus bahwa bantuan Amerika Serikat pada Aceh akan datang pada awal maret 1873 (Poesponegoro dan Notosusanto,1993:242-243). Walaupun kenyataanya pihak Amerika dan Italia tidak memberi bantuan apapun bagi Aceh, tetapi Belanda sudah bersiap diri untuk menyerang Aceh. Hubungan diplomatik yang terjalin antara Aceh dengan beberapa negara yang tersebut diatas juga dijadikan alasan oleh Belanda untukmenyerang Aceh, sebab menurut pihak Belanda Aceh mempunyai maksud untuk meminta bantuan dari Amerika Serikat, Turki, Italia maupun Singapura sehubungan dengan serangan yang akan dilancarkan oleh pemerintah Hindia Belanda kepada Aceh.
C. Jalannya Perang Aceh Dari Tahun 1873 Sampai Tahun 1904
            Pemerintahan Belanda pada tanggal 18 februari 1873 memerintahkan Gubernur jendral di Batavia untuk mengirimkan untuk mengirimkan kapal dan pasukan yang kuat ke Aceh. Kemudian dikirimlah komisaris Hindia Belanda untuk Aceh yaitu F.N Nieuwenhuysen yang berangkat ke Aceh dengan menggunakan dua kapal perang lengkap dengan pasukannya. Nieuwenhuysen berangkat pada tanggal 7 Maret 1873, tidak lama kemudian datang juru bicara Belanda yang bernama Said Tahir menghadap Sultan Mahmud Syah untuk menyampaikan surat dari Komisaris Nieuwenhuysen. Surat teresbut berisi permintaan kepada Sultan Aceh untuk mengakui kedaulatan Hindia Belanda atas negaranya. Sultan Mahmud syah menolak isi surat tersebut dan tidak bersedia menerima perintah dari komisaris Hindia Belanda tersebut. Surat-surat selanjutnya dari komisaris Hindia Belanda juga ditak diberi jawaban serta ditolak oleh Sultan Aceh, sehingga pada tanggal 26 Maret 1873 Belanda mulai menyerang Aceh (Poesponegoro dan Notosusanto,1993:243).

1)      Perang periode pertama tahun 1873-1874
            Aceh sudah mempersiapkan diri dalam menghadapi serangan yang akan dilaksanakan oleh Belanda. Sepanjang pantai Aceh besar dibangun benteng-benteng untuk memperkuat wilayah. Demikian juga untuk tempat-tempat yang penting seperti istana raja, masjid raya Baiturrachman, dan Gunongan juga diperkuat. Terdapat sekitar 3000 laskar pejuang Aceh yang bersiaga disepanjang pantai dan 4000 opasukan lain yang menjaga istana Sultan. Walaupun Belanda sudah mendapat laporan tentang persiapan Aceh yang kuat untuk menghadapi agresi militer dari Belanda, tetapi pihak Belanda masih menganggap remeh Aceh dan berpikir Aceh pasti dapt dengan mudah ditakhlukkan oleh Belanda.
            Pada tanggal 5 April 1873, tampaklah suatu kesatuan penyerbu Belanda yang kuat dan dipimpin oleh Mayor Jendral J.H.R. Kohler. Pada penyerangan Belanda yang pertama ini, Belanda berhasil menyerang dan mengepung Masjid Raya Baiturrachman  serta menembakkan peluru api ke arah masjid tersebut, sehingga Msjid tersebut terbakar dan berhasil diduduki oleh pihak Belanda. Tetapi setelah Belanda berhasil menduduki Masjid tersebut, panglima perangnya yakni Jendral Kohler tewas, akibat ditembak oleh pasukan Aceh. Kekuatan pasukan Aceh semakin lama bertambah besar. Orang-orang Aceh yang sudah lama bersikap anti Belanda dan mengetahui negerinya akan diserang oleh Belanda, membuat masyarakat Aceh mengobarkan semangat juang untuk mempertahankan negerinya dari serangan Belanda. Peran ulama dan uleebang dalam perang Aceh juga sangat besar. Masyarakat Aceh sebagian besar adalah pemeluk agama islam yang kuat sehingga begitu ulama menyerukan kepada umat untuk perang fisabilillah (perang sabil) maka rakyat aceh dengan serentak akan menyerahkan jiwa dan raganya untuk berjuang di jalan Tuhan dan demi mempertahankan negerinya dari serangan Belanda. Pemimpin perang periode pertama dari pihak Aceh adalah Panglima Polem Cut Banta, Panglima Sagi XXII Mukim, Dan Teuku Imam Luengbata. Setelah berhasil menduduki Masjid Raya Baiturachman, Belanda kini memusatkan penyerangan pada Istana Sultan. Serangan Belanda atas istana Sultan ternyata mengalami kegagalan dan atas persetujuan pemerintah Hindia Belanda di Batavia akhirya pasukan Belanda meninggalkan Aceh pada 29 April 1873.
Pada tanggal 9 Desember 1873, kapal perang Belanda kembali mendarat di pantai Aceh. Dalam penyerangan ini, pasukan Belanda dipimpin oleh Letnan Jendral  J. Van Swieten. Tugas utama dari Swieten adalah untuk menyerang dan merebut istana serta mengadakan perjanjian dengan Sultan Aceh. Sesudah Belanda meninggalkan Aceh pada April 1873, masjid raya Baiturrachman kembali diduduki oleh pasukan Aceh. Dalam ekspedisi kedua ini, Belanda membawa 8000 prajurit untuk menyerang Sultan Mahmud Syah dan merebut istananya (Wiharyanto,2006:161). Akhirnya pertempuran terjadi di kawasan istana sultan dan sekitar masid raya. Setelah lebih dari dua minggu berhasil bertahan, akhirnya laskar Aceh pun terdesak dan istana jatuh ketangan Belanda. sultan beserta keluarga dan pengikutnya hijrah ke Leunbata pada tanggal 24 januari 1874 untuk menyelamatkan diri. Bersama panglima Polim dan pengikut yang lain, Sultan mendirikan markas pertahanan di Leunbata. Tetapi ditengah perjuangan Sultan meninggal dunia akibat terkena wabah kolera. Kini kepemimpinan Aceh diserahkan kepada putra mahkota yang masih muda yakni Muhammad Daud Syah dan dibantu oleh Dewan Mangkubumi yakni Tuanku Hasyim. Pada tanggal 31 januari 1874 Van Swieten memproklamirkan bahwa Belanda telah menguasai Aceh besar. Tetapi rakyat Aceh tidak gentar dengan seruan Belanda tersebut dan masih merasa merdeka walaupun ibukota Aceh direbut oleh Belanda. Bagi rakyat Aceh sultan masih berdaulat bahkan dengan dikuasainya Aceh besar oleh Belanda, semakin besar pula semangat laskar Aceh dalam merebut kembali Aceh besar (Poesponegoro dan Notosusanto,1993:248-249).
2)      Perang periode kedua tahun 1874-1880
Jenderal Pel yang menggantikan Van Swieten pada bulan April 1874 mulai membangun pos-pos pertahanan di Kutaraja. Pada tahun 1877, pasukan Belanda dipimpin oleh Jenderal Van Der Heyden. Van Der Heyden mulai melakukan ofensif dengan mengirim ekspedisi untuk menakhlukkan Mukim XXII. Panglima Polim terpaksa mengundurkan diri ke daerah lain. Daerah daerah lain dalam Aceh besar akhirnya jatuh ke tangan Belanda. Suasana yang dianggap sudah damai dan kesulitan keuangan keuangan mendorong peguasa Kolonial Hindia Belanda menerapkan sistem pemerintahan sipil. Ternyata langkah yang diambil oleh pemerintah Hindia Belanda itu salah. Paska diberlakukannya pemerintahan sipil, perlawana dari rakyat semakin besar sehingga Belanda kembali menerapkan sistem pemerintahan militer (Kartodirjo,1987:388).
Pada tahun 1877 Habib Abdurrahman kembali dari Turki. Dia berhasil mengadakan perundingan dengan Teuku Cik Di Tiro dan Imam Leungkata di Pidi untuk membicarakan soal strategi perang. Penyerangan Habib Abdurrahman terutama untuk memperlemah pos-pos Belanda yang melingkar antara Krueng, Raba, Lambaroh Uleekarang dan Klieng. Para pejuang juga berusaha membatasi ruang gerak pasukan Belanda dengan menghentikan konvoi pasukan Belanda. Memasuki tahun 1878 kegiatan llaskar Aceh semakin luas. Pertempuran antara pasukan Habib Abdurrahman dengan pasukan Belandadi Blang Ue, Peuka Badak dan Bukit Sirun. Sementara itu, Teuku Cik Di Tiro masih tetap melakukan perlawanan di daerah Pidi. Di Aceh barat perlawanan terhadap Belnda dipimpin oleh Teuku Umar. Ia dibantu oleh istrinya, Cut Nyak Dien yang juga aktif dalam medan pertempuran. Perlawanan Teuku Umar membuat Belanda kesulitan, sehingga Belanda dengan sekuat tenaga berusaha menakhlukkannya (Poesponegoro dan Notosusanto,1993:251-253).
3)      Perang periode Ketiga tahun 1880-1896
Memasuki tahun 1880 situasi di Aceh semakin buruk bagi Belanda. Perlawanan rakyat Aceh semakin menghebat dan terjadi diseluruh lapisan msyarakat. Kaum bangsawan seperti Ulebalang langsung memimpin perjuangan di medan pertempuran dan ulama mengobarkan semangat juang di kalangan rakyat Aceh dengan mendengungkan perang Sabil dan mengkhotbahkan kisah-kisah peperangan seperti hikayat perang sabil, dan syair Aceh. Pemerintah Hindia Belanda mulai menyadari kesulutan menakhlukkan aceh. Pada awal tahun 1880 biaya yang dikeluarkan sudah mencapai 115 juta gulden dan pada akhir tahun 1884 mencapai 150 juta gulden. Karena pejuang-pejuang Aceh selalu berhasil memasukkan perbekalannya melalui pantai utara, maka pada bulan Agustus 1881 pemerintah Hindia Belanda memutuskan untuk menjalankan blokade ketat. Tindakan yang diambil antara lain :
  1. Seluruh pantai utara Aceh dari Ulee Lhene sampai ujung Diemant tertutup baik untuk ekspor-impor maupun untuk penangkapan ikan.
  2. Pelabuhan yang terbuka namun dengan pengawasan ketat ialah Ulee Lheue, Sigli, Samalanga, dan Lhok Seumawe.
  3. Armada belanda diperkuat dengan dua armada lagi.
Bagi Aceh blokade tersebut tidak terlalu mengkhawatirkan karena penyelundupan perbekalan dan senjata masih dijalankan dengan segala cara (Poesponegoro dan Notosusanto,1993:254-259).
Pada tahun 1884 Belanda mulai menerapkan sistem konsentrasi (konsentrasi stelsel). Daerah yang dikuasai Belanda dimakmurkan agar orang-orang Aceh yang melakukan perlawanan meletakkan senjatanya dan kembali ke daerah yang aman dan makmur ciptaan Belanda (Wiharyanto,2006:162). Kotaraja sebagai pusat pemerintahan dibangun benteng-benteng dan jalan. Di bagian luar benteng, hutan dan semak belukar ditebang, sehingga ada tanah selebar 1 km sebagai pengamanan terhadap penyelundupan pasukan Aceh. Dalam perkembangannya, sistem konsentrasi ini mengalami kegagalan karena strategi konsentrasi ternyata memberi peluang bagi para pejuang Aceh untuk menggalakkan perang gerilya. Strategi pemerintahan Belanda dalam perang Aceh ini selalu berubah setiap kali berganti pemimpin. Gubernur Deykerhoff (1890) berusaha mendekati kaum bangsawan dan para pedagang, karena mereka yang menyumbangkan dana terbesar untuk jalannya perang Aceh. Siasat tersebut ternyata berhasil untuk mendorong Teuku Umar untuk tunduk kepada pihak Belanda. Ia dan pasukannya membantu Belanda dalam ”mempasifikasikan” Aceh besardengan menundukkan mukim XXII, XXV, XXVI. Dengan demikian Teuku Umar mendapat kepercayaanyang besar dari Belanda. Hal itu digunakan Teuku Umar untuk kembali ke pihak aceh dengan peralatan perang yang cukup lengkap (1896). Dengan kembalinya Teuku Umar, daerah Aceh besar mulai bergolak lagi. Oleh karena itu Belanda mendatangkan kembali ekspedisi untuk menundukkan kembali seluruh Aceh besar (Kartodirjo,1987:389)
4)      Perang periode keempat tahun 1896-1904
Belanda sudah melaksanakan perang dengan berbagai strategi dari pemimoin perang yang berbeda pula. Tetapi pertahanan Aceh mesih sulit dihancurkan bahkan semangat juang masyarakat Aceh semakin membara. Oleh karena itu Belanda berusaha menyelidiki rahasia dari kekuatan besar Aceh terutama yang menyangkut kehidupan sosial budayanya. Dr. Snouck Hurgrunje yang faham tentang agama islam dan pernah bergaul dengan orang-orang Aceh yang naik haji, oleh pemerintah Hindia Belanda dipandang sebagai orang yang tepat untuk diberi tugas memecahkan kesulitan-kesulitan yang dihadapi Belanda dalam menakhlukkan Aceh (Poesponegoro dan Notosusanto,1993:256-257).
Sejak tahun 1890 Snouck Hurgronje mempelajari masyarakat Aceh. Ia juga pernah bermukim secara rahasia di Mekkah, dapat menguasai bahasa Arab serta sejara dan ajaran-ajaran islam. Pada tahun 1889 menjabat Penasihat Pemerintahan Agung Hindia Belanda untuk urusan Arab dan pribumi. Snouck Hurgronje juga yang merintis politik devide et impera di kalangan umat Islam dan juga politik menjinakkan watak Islam. Hurgronje memberikan nasihat kepada pemerintah Hindia Belanda selama perang Aceh supaya memecah belah persatuan antara kaum Ulebalang dan kaum ulama. Mereka harus didisolir satu sama lain. Bersamaan dengan dengan usaha memecah belah itu, kaum Ulebalang secara militerharus didesak. Apabila ada dari kaum tersebut yang memberontak maka harus dihancurkan dan kaum Ulebalang yang lemah harus dirangkul. Demikian pula dengan kaum ulama, harus dilakukan penidasan militer tanpa ampun, sambil menyalurkan ajaran-ajaran islam hanya pada bidang ubudiyah saja.ajran-ajaran islam tentang peperangan dan kenegaraan harus dimatikan (Hasymy,1993:122-123).
Snouck Hurgronje juga memberi saran kepada pemerintah Hindia Belanda supaya menggempur semua pemimpin aceh yang mengadakan perlawanan terhadap Belanda. Untuk menjaga keamanan Aceh Besar di setiap segi ditempatkan pasukan mobil. Ekspedisi di Aceh Besar dipimpin oleh Van Der Heyden dibantu oleh Van Heutz. Ofensif yang dilakukannya memaksa pemimpin Aceh untuk lari ke Pidie, antara lain Panglima Polim, Teuku Umar, dan pengikutnya. Strtegi ofensif itu diteruskan waktu Van Heutz diangkat sebagai gubernur Aceh. Strategi itu sesuai dengan apa yang disarankan Snouck Hurgronje dan bertahun-tahun mereka perjuangkan.
Waktu diadakan operasi Pidie, didaerah pantai Timur muncul gerakan Teuku Tapa, seorang dari Gayo yang bertindak sebagai orang keramat dan berhasil menarik pengikut besar-besaran. Dicanangkannya pula perang sabil. Pada bulan juni 1898 diadakan rapat para pemimpin perang dimana Teuku Umar dipilih menjadi pemimpinnya. Operasi Van Heutz memaksa pihak Aceh lebih bersikap defensif dengan menghindari konfrontasi (Kartodirjo,1987:389-390). Pada waktu menyerang Belanda di Meulaboh (1889) Teuku Umar gugur.
Sultan Muhammad Daud Syah sangat sulit untuk ditakhlukkan oleh Belanda. Oleh karena itu, Belanda menggunakan taktik baru yaitu dengan menculik istri Sultan. Dengan memberi tekanan-tekanan keras kepada Sultan, akhirnya Sultan Muhammad Dawud menyerah kepada Belanda tahun 1903 (Wiharyanto,2006:163). Cara yang sama juga dilakukan Belanda untuk menangkap Panglima Polim. Isteri, ibu dan anak-anak panglima Polim diculik oleh Belanda, kemudian Belanda menekan Panglima Polim terus-menerus. Akhirnya karena keadaan sudah mendesak maka panglima Polim dengan sisa pasukannya yang berjumlah 150 orang terpaksa menyerah kepada Belanda pada tanggal 6 september 1903 (Poesponegoro dan Notosusanto,1993:260).
Laskar Aceh semakin terdesak terus, Meurado, Samalangan, Pensangan, Batu merah dan Batu illiejatuh ke tangan Belanda. Beberapa rentetan peristiwa mulai dari gugurnya para pemimpin perang sampai menerahnya para penglima dan Sultan Aceh kepada pihak Belanda perlahan-lahan membuat pertahanan laskar Aceh lemah bahkan benar-benar sulit untuk bangkit dan kuat seperti dahulu. Kesempatan tersebut digunakan pemerintah Hindia Belanda untuk menenmkan kekuasaan di seluruh wilayah Aceh . Peristiwa menyerahnya para pemimpin perang dan Sultan Aceh serta melemahnya kekuatan laskar Aceh sekaligus menandakan berakhirnya perang Aceh.
Setelah perang Aceh berakhir, maka kerajaan Aceh didikat oleh pemerintah Hindia Belanda dengan jalan menandatangani pelakat pendek, suatu perjanjian yang berisi tentang beberapa hal yakni :
  1. Tiap-tiap swapraja harus mengakui kekuasaan pemerintah Hindia Belanda.
  2. Raja tidak boleh berhubungan dengan pemerintah asing lain.
  3. Perintah pemerintah Belanda harus dijalankan (Wiharyanto,2006:163-164).
Walaupun Belanda sudah berhasil menguasai seluruh Aceh dan menundukkan Sulatan aceh, tetapi rakyat Aceh masih tetap mengadakan perlawanan terhadap Belanda walaupun hanya perlawana dalam skala yang lebih kecil.
3. Dampak Perang Aceh bagi Pemerintah Hindia Belanda dan Aceh
            Perang aceh merupakan perang berat dan paling lama yang dihadapi oleh pemerintah Hindia Belanda maupun pihak Aceh sendiri. Walaupun kekuatan Aceh pada abad ke 19 tidak sehebat Aceh pada abad sebelum-sebelumnya, tetapi semangat juang rakyat Aceh tidak pernah menyurut dan persatuan antar seluruh lapisan masyarakat baik dari golongan ulama, ulebalang maupun rakyat biasa terjalin dengan baik demi kelancaran perlawanan kepada pihak Belanda. Oleh karena itu perang Aceh membawa dampak bagi Belanda maupun Kerajaan Aceh.
  • Dampak perang Aceh bagi Belanda
a. Waktu perang Aceh yang sangat lama yakni sekitar tahun 1873-1904 sangat menguras kas keuangan Belanda dan juga menimbulkan jatuhnya banyak korban dari pihak Belanda. Bahkan panglima perang Belanda untuk perang Aceh yang pertama yakni Kohler juga gugur dalam penyerangan.
b. Belanda dapat mengetahui kelemahan dari pertahanan rakyat Aceh. Yakni lewat penyelidikan yang dilakukan oleh Dr. Snouck Hurgronje. Akhirnya dapat diketahui bahwa peran ulama dan bangsawan sangat penting bagi persatuan rakyat Aceh.
c.Walaupun Belanda harus berjuang bertahun-tahun dalam melakukan penyerangan guna menakhlukkan Aceh, namun pada akhirnya Aceh berhasil dikuasai oleh Belanda.
  • Dampak perang Aceh bagi kerajaan Aceh
a. Menguatnya rasa persatuan dan kesatuan diseluruh lapisan masyarakat Aceh. Pertempuran yang berlangsung terus-menerus membuat rasa persatuan laskar Aceh semakin terjalin kuat. Apalagi para ulama yang mengobarkan semangat perang sabil diantara laskar Aceh membuat rakyat stidak gentar dalam menghadapi Belanda.

b. Jatuh banyak korban dipihak Aceh
Perang yang berlangsung selama kurang lebih 33 tahun, membuat jatuhnya banyak korban dari pihak Aceh juga gugurnya beberapa panglima Perang Aceh. Hal tersebut juga didorong oleh semangat perang sabil yang berkobar di hati para pejuang Aceh. Pada tanggal 14 juni 1904 terjadi pembunuhan masal di Kuta Reh yang merupakan siasat dari Van daalen. Korban dari rakyat Aceh sekitar 2922 orang yang terdiri dari 1773 laki-laki dan 1149 perempuan. Peristiwa tersebut semakin menabah besarnya jumlah korban perang Aceh
 c. Jatuhnya seluruh Aceh ke tangan Pemerintah Hindia Belanda
    Perang Aceh diakhiri dengan kemenangan dipihak Belanda. Setelah berhasil menguasai seluruh Aceh, jenderal Hindia Belanda untuk Aceh, yakni Van Heutz memaksa Sultan Aceh untuk menandatangani perjanjian yang berisi tentang pengakuan kedaulatan Hindia Belanda oleh Aceh dan sultan aceh harus tunduk dengan perintah Belanda. hal tersebut sudah menghilangkan hak Aceh untuk merdeka.
SIMPULAN
A. Simpulan
            Perang Aceh merupakan perang yang berlangsung antara kerajaan Aceh dan Belanda. Perang tersebut berlangsung kurang lebih sekitar tahun 1873 -1904. Semangat juang rakyat Aceh yang tidak pernah surut membuat pihak Belanda kesulitan untuk menakhlukkan Aceh. Apalagi dengan semangat perang sabil yang semakin membuat rakyat Aceh semangat dalam menyerang Belanda. berbagai strategi perang telah digunakan Belanda untuk melemahkan rakyat Aceh, tetapi usaha tersebut selalu mengalami kegagalan. Sampai pada akhirnya Belanda meminta nasihat dari seorang pengamat masyarakat aceh yakni Snouck Hurgronje untuk menyelidiki kelemahan rakyat Aceh. Dengan adanya bantuan dari snouck Hurgronje, akhirnyA Pemerintah Hindia Belanda dapat melaksanakan siasat licik untuk menakhlukkan Aceh dan hal tersebut ternyata berhasil dan pada tahun 1903 sultan Muhammad Daud Syah menyerah kepada Belanda.
            Walaupun akhirnya Belanda berhasil menguasai Aceh dan mengikat Sultan Aceh dengan perjanjian, tetapi perlawanan-perlawanan dari rakyat Aceh kepada pihak belanda masih terus berlangsung selama awal abad 20.

B. Saran
            Perang Aceh dapat menjadi suatu pembelajran bagi bangsa Indonesia akan pentingnya rasa persatuan dan persaudaraan antar seluruh lapisan masyarakat. Dengan adanya rasa persatuan dan persaudaraan yang terjalin kokoh, maka suatu bangsa akan sulit untuk dihancurkan.


11 comments:

  1. makasih infonya.....,

    ReplyDelete
  2. Sangat Bermanfaat, terutama bagi saya sebagia siswa,

    ReplyDelete
  3. artikel yang sangat bermanfaat

    ReplyDelete
  4. tujuan perang ini apa kak?

    ReplyDelete
  5. tujuan perang ini apa Kakak

    ReplyDelete
  6. selama ini sejarah perjuangan Acheh selalu berpedoman pada tulisan-tulisan yang bersebrangan dengan kepentingan Acheh masa itu dan menjadi refrensi tulisan-tulisan yang terjadi sekarang. seperti conto setelah mangkatnya Sultan Mahmud Syah seolah-olah Muhammad Daud Syah langsung menjadi Sulthan di Acheh. sedangkan pada saat kejadian di Keumala Dalam tidak pernah menjadi refrensi tulisan di publik sejarah jelas menyebutkan Muhammad Daud Syah menyerah di Sigli dari Keumala. belanda menyatakan apa yang terjadi di Kuemala sebagai kelompok perlawanan.

    ReplyDelete
  7. Sangat bermanfaat,sayang sekali tidak ada siasat perang nya

    ReplyDelete
  8. ga ada daftar pustakanya ya?

    ReplyDelete

Silahkan tinggalkan komentar dan kalau mau bertanya, saran, atau apapun mohon lebih baik sertakan nama dan alamat email, sebaiknya jangan memakai Anonymous Users

 
;